Cerita Pilu Pekerja Kebun Kelapa Sawit

Kebun kelapa sawit

Niat ingin mengadu nasib diperantauan untuk mengubah hidup, malah kisah pilu yang didapat.

Cerita ini merupakan kisah nyata yang dialami sendiri oleh salah satu saudara saya.

Hari minggu kemarin, saudara saya (maaf tidak bisa saya sebutkan namanya) datang ke rumah dan cerita tentang perjuangan dia bisa pulang dari Kalimantan.

Sebulan lalu saya memang mendapat kabar dari anaknya, bahwa bapaknya ke Kalimantan mau kerja di kebun kelapa sawit. Tapi anak dan istrinya mulai khawatir karena tidak bisa dihubungi.

Tapi alhamdulillah, akhirnya bisa pulang berkumpul kembali dengan keluarga.

Berikut ini kisahnya.

Berawal dari informasi iklan di koran, bahwa ada lowongan kerja di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan dengan biaya GRATIS dan tanpa training, saudara saya (berikutnya saya panggil X) melamar lah di PT penyalur tenaga kerja ini yang berkantor di Sleman.

Saat itu X diberi iming-iming gaji harian 87ribu/hari dan beras 15kg per bulan. Pokoknya sekitar 3 bulan sudah bisa dapat hasil untuk dikirim buat keluarga.

Berangkatlah ke Kalimantan bersama 270-an orang lainnya, dengan biaya pemberangkatan dari PT.

Sampai sana, ternyata jarak dari pelabuhan ke perkebunan kelapa sawit menempuh perjalanan 1,5 hari. Semua pekerja sudah disediakan mass untuk tempat tinggal selama di sana.

Namun, betapa kagetnya X saat mandor di perkebunan itu menjelaskan hal yang berbeda dengan yang PT penyalur jelaskan. Ternyata X dan teman-temannya harus menjalani masa training dulu 3 bulan, dan selama training tidak mendapatkan gaji harian dan beras. Baru setelah 3 bulan masa training dan lolos, baru akan diangkat jadi pekerja tetap dengan gaji harian 87ribu/hari (gaji kotor) dan beras 15kg per bulan. Jika setelah 3 bulan tidak lolos masa training, maka bulan berikutnya pun masih berstatus training, yang artinya belum dapat gaji. Selain itu, ternyata semua peralatan kerja pun seperti sepatu boat, parang dan lainnya harus dibeli sendiri oleh pekerja. Tidak disediakan oleh perkebunan. Perkebunan hanya menyediakan koperasi tempat pekerja membeli alat-alat kerja, lalu nanti dipotong gaji untuk membayar alat-alat kerja itu.

Yang paling mengagetkan lagi, bahwa ternyata X dan teman-temannya ini tidak boleh keluar kerja sebelum 1 tahun. Karena katanya ongkos pemberangkatan mereka sebesar 1,2 juta yang dibayarkan perusahaan perkebunan ke PT penyalur akan di potong dari gaji pekerja setiap bulan.

Sampai sini dan melihat area perkebunan kelapa sawit yang begitu luas yang harus digarap, yaitu 20 orang menggarap 1 hektar, X dan beberapa temannya sudah merasa tertipu oleh PT penyalur.

Akhirnya setelah beberapa hari di sana, X dan 12 orang temannya memutuskan untuk kabur, karena sudah tidak kuat lagi dengan suasana kerjanya.

Perjuangan pun dimulai.

Bersama 12 orang temannya, X mulai keluar dari mess jam 11 malam. Karena lampu yang pakai genset di perkebunan mati setiap jam 9 malam. Dengan mengendap-endap mereka satu persatu berjalan menyusuri perkebunan sawit. Mereka harus berjuang melewati 4 portal yang dijaga satpam perkebunan. Jika ketahuan oleh penjaga portal bahwa mereka pegawai perkebunan sawit yang kabur, maka akan dikembalikan lagi ke mess dan tentu hukuman dari mandor menanti. Dan ini yang paling ditakutkan mereka.

Portal satu dan dua sudah berhasil dilewati dalam waktu perjalanan satu hari. Dan mereka sudah mulai berpencar, agar tidak ketahuan. X tinggal bertiga bersama orang Klaten dan Aceh. Dengan perut keroncongan mereka terus berjalan melewati perkebunan sawit. Sekali numpang naik truk yang habis mengantar makanan ke perkebunan. Sopir truk itu bercerita bahwa ada 6 orang yang tertangkap di portal 2. Mereka kemungkinan adalah teman X yang kabur. Dan saat tahu bahwa X juga pekerja perkebunan kelapa sawit yang kabur, maka sopir truk ini nggak bersedia membawa mereka melewati portal 3. Akhirnya mereka diturunkan dan harus kembali berjalan diantara rimbunnya pohon kelapa sawit.

Portal 3 akhirnya berhasil mereka lewati. Kini X tinggal berdua dengan orang Klaten. Yang orang Aceh entah pergi kemana. Berpisah saat istirahat di masjid yang ada di perkebunan. Tinggal satu Portal lagi yang harus mereka lewati. Perjalanan sudah dua hari. Mereka tentu lebih hati-hati. Jangan sampai tertangkap di portal 4 dan dikembalikan lagi ke mess. Padahal sudah berjalan begitu jauh. Cerita X, lebih baik di penjara, dari pada harus kembali kerja di perkebunan kelapa sawit itu.

Di tengah perjalanan menuju portal 4, mereka dapat tumpangan naik mobil yang habis mengantar ikan ke perkebunan. Awalnya sempat takut. Tapi sopir mobil ini bilang, “Tenang, aman ko. Ayo naik!”

Ternyata sopir mobil ini sudah faham kondisi para pekerja di perkebunan. Dan kasus yang kabur, bukan hanya kali ini saja. Sebelumnya banyak yang juga kabur. X dan temannya ditawari untuk tinggal di rumahnya dulu sampai punya uang untuk pulang ke kampung halaman. Alhamdulillah, sopir mobil membawa mobilnya tidak melewati portal 4, tapi mengalihkan jalan ke arah rumahnya.

Dua setengah hari perjalanan dengan jalan kaki mereka berhasil lalui sampai di rumah pemilik mobil, yang ternyata orang Sulawesi. Bapak ini ternyata baik sekali. Memberi tempat untuk istirahat dan memberi makan gratis. X pun bisa menghubungi keluarganya, meminta dikirimi uang untuk ongkos pulang ke Jogja. Sambil menunggu transferan, X dan temannya diberi pekerjaan menggarap lahan sama pemilik rumah. Mereka pun diberi upah sesuai kemampuan mereka bekerja. Setelah kiriman uang sampai, X pun pamit untuk pulang ke Jogja.

Saat di Palangkaraya, X bertemu salah satu pekerja lainnya yang ternyata sudah kabur duluan yaitu orang Magelang. Akhirnya mereka jadi bertiga pulang ke Jawa. X pun kembali bisa berkumpul bersama keluarga di Jogja.

Semoga kisah ini menjadi pembelajaran bagi siapa pun yang berniat mengadu nasib di perkebunan kelapa sawit, di mana pun itu, bahwa harus benar-benar hati-hati terhadap penyalur tenaga kerja yang iklan di koran. Jika masih ada peluang untuk bekerja di kampung halaman, lebih baik tidak merantau. Akan lebih baik bekerja dan tetap bisa dekat dengan keluarga tercinta.

 

Oleh: Euis Marlina

Leave a comment