Jurnalis Indonesia Kebablasan

Saya terhenyak ketika membaca tulisan Atmakusumah pada rubrik Opini, Kompas 22 Juni 2010 yang berjudul “Privasi, Pornografi, dan Etik Jurnalistik”. Katanya, ternyata para jurnalis daerah lebih berani dalam memuat potongan-potongan adegan dari video porno “mirip Ariel, Luna Maya dan Cut Tari” tersebut. Padahal di negara tetangga kita Singapura, identitas pelaku video seperti itu tidak pernah dipublikasikan ke media, karena menyangkut privasi seseorang. Yang dipublikasikan hanya penyebarnya saja. Namun jika penyebarnya pelaku dalam video tersebut, maka itu pun tidak dipublikasikan. Pengadilan pun secara cepat menyelesaikan kasus video porno seperti itu.

Di Indonesia, kasus video porno “mirip Ariel, Luna Maya dan Cut Tari” malah sampai mengalahkan kasus kelas kakap semacam Century dan sebagainya. Pelaku video tersebut pun secara sangat jelas identitasnya dipublikasikan ke media. Sehingga masyarakat yang tidak tahu pelaku tersebut menjadi tahu.

Mereka memang salah berbuat seperti itu. Tapi menurut saya, media juga punya peran dalam menyebarkan video tersebut karena mereka menayangkan potongan videonya, sebelum akhirnya diberi peringatan oleh KPI. Masyarakat yang tadinya tidak tahu ada video tersebut, menjadi tahu. Dan bagi masyarakat yang suka iseng atau remaja yang mudah penasaran, pemberitaan itu akan membuat mereka mencari video tersebut karena penasaran ingin melihat keutuhan adegan pada video porno itu.

Menurut saya, sebaiknya cukup sekali saja media memberitakan kasus itu, bukan sampai berminggu-minggu, karena itu menyangkut privasi mereka. Tunggulah sampai pengadilan menyatakan mereka bersalah, baru dipublikasikan lagi. Ini malah seperti skenario untuk menutup kasus-kasus besar yang sedang ditangani POLRI. Perhatian masyarakat pun dipaksa media untuk mengarah pada pemberitaan itu.

Ini merupakan pelajaran bagi media kita, jangan sampai mereka mengulangi hal yang sama. Sudah jelas bagaimana etika seorang jurnalis dalam memberitakan, diatur dalam kode etik jurnalistik. Jika media cetak atau elektronik kembali menayangkan secara vulgar baik foto atau video porno dalam pemberitaan mereka, maka tidak ada bedanya media tersebut dengan media porno seperti majalah PlayBoy. Dan mereka tidak pantas disebut sebagai seorang jurnalis.

(Oleh Euis Marlina)

2 thoughts on “Jurnalis Indonesia Kebablasan

Leave a comment